Esai

Sebentuk Oase: #FindingNenek

FINDINGNENEK

TIDUR saya Kamis malam kemarin sedikit terganggu. Telah masuk sebuah rekomendasi untuk lekas menonton video berdurasi 25 menit 58 detik. Itu durasi yang lumayan untuk menyedot paket data dengan durasi lama dan kualitas tinggi di YouTube. Karena tidak mau kuota internet saya terumbar sia-sia, saya bertanya kepada pemberi rekomendasi, “sebutkan satu alasan saja yang membuat kamu meminta saya menonton video ini?”

Anda tahu, jenis pertanyaan di atas retoris belaka. Sebab, kepada orang dengan selera di atas rata-rata, sebuah saran atas sesuatu itu sudah ditimbang kecakapannya. Kita tinggal melakukannya dan menyerap sendiri suatu manfaat yang diperoleh. Tetapi, bermain-main sedikit bukan suatu permasalahan.

“Kamu akan menyukai caranya bercerita,” jawab si pemberi rekomendasi. Selain makanan olahan telur, cerita adalah sesuatu yang saya gemari. Mau itu lewat tulisan, audio, atau visual. Saya percaya kemampuan bercerita adalah satu di antara yang membedakan antara kita dengan hewan. Sebagai penjual ayam potong, Bapak saya selalu kedatangan puluhan ayam setiap harinya dan belum sekali saya mendengar mereka saling bercakap dan bercerita tentang perasaannya sebelum dihadapkan pada sebilah pisau tajam.

“Dan satu petunjuk lagi,” sambung si pemberi rekomendasi, “cerita ini adalah tentang identitas.” Saya membalasnya dengan kelewat santai: kisah pembuatan KTP. Tidak ada jawaban lagi. “Tonton saja. Setelahnya, katakan pada saya kesan apa yang kamu dapat dari video itu.”

Saya mengucap doa dalam hati: semoga kuota internet yang mengucur deras ini tidak bermuara pada kesia-siaan. Sebab yang suka bermubazir adalah saudara setan.

Video itu berjudul #FindingNenek: Perempuan Berbusana Batik. Dari sepotong judul ini saja sudah bisa ditebak cerita ini akan berkutat pada pencarian nenek oleh seorang cucunya. Batik adalah petunjuk atau titik tolak pencarian yang kemudian berlangsung lintas negara. Kisah ini adalah kejadian nyata yang dituturkan oleh Nadir Hahdi. Pemuda berhidung bangir ini lahir dan besar di London, Inggris. Namun, ia bukan sepenuhnya orang Eropa. Ayahnya berdarah campuran dari pernikahan seorang pria Kenya dan perempuan Indonesia.

Perempuan Indonesia itu yang menghadirkan banyak pertanyaan reflektif bagi pemuda Nadir sepanjang hidupnya. Jawaban tidak bisa cuma ditunggu. Nadir menempuh perjalanan ribuan mil dari London ke Jakarta untuk mencari tahu lebih lanjut neneknya, bukan sebagai sosok, melainkan identitas. Hulu dari sumber darah yang mengalir dalam nadinya. Dan selembar foto neneknya semasa muda yang mengenakan kain batik adalah satu-satunya petunjuk yang ada di tangannya. Batik adalah kata kuncinya.

Dipandu oleh Hannah Alrasyid, karib Dian Sastrowardoyo, Nadir mendapat petunjuk untuk mendatangi sentra batik di Solo. Di kampung Presiden Jokowi itu, perjalanan mencari nenek semakin menuju titik terang. Namun, sebagaimana kisah petualangan pada umumnya, tidak bisa hanya menghadapi satu belokan. Girang mendapati fakta di situ adalah jenis semu. Pengakuan bahwa nenek Nadir adalah seorang ningrat belum sepenuhnya terverifikasi. Oleh seorang informan, Nadir dipinta melanjutkan perjalanan ke timur, menuju Pare di Kediri.

Apakah kemudian Nadir bisa menapaktilasi jejak neneknya yang puluhan tahun meninggalkan Tanah Air bersama kakeknya menuju Afrika? Ada baiknya Anda menyimak sendiri kelanjutan ceritanya. Tentu tidak akan menarik jika semuanya diumbar di sini. Anda tidak akan mendapatkan kesan natural usai menonton video sebagaimana yang saya rasakan dan kemudian saya kabarkan kepada pemberi rekomendasi. “Inilah cerita yang saya maksudkan selama ini,” begitu saya mengetikkan pesan WA ke dia.

Bahwasanya yang terlihat di permukaan dari cerita ini adalah mencari asal seorang nenek, memang benar. Namun, kelihaian dalam menuturkan atau mengalirkan cerita membuat siapa saja yang menonton akan lebih jauh sebelum menyimpulkan. Seperti sepotong petunjuk yang sempat disampaikan oleh pemberi rekomendasi sebelum saya menonton video ini: identitas.

Identitas bukan sekadar informasi personal yang tertera di KTP kita hari ini. Lebih daripada itu. Identitas, seperti kata Nadir, adalah rumah tempat nilai-nilai manusia diproduksi. Sehingga dari pencarian ini, Indonesia, bagi Nadir, bukan hanya sepotong negara kecil dalam peta. Indonesia adalah rumah lain bagi Nadir untuk kian memperkukuh jati dirinya. “Harus dipegang teguh,” begitu pesan seorang kakek yang ditemuinya di Pare.

Setelahnya cara pandang Nadir tidak lagi sama terhadap Indonesia. Sepotong video #FindingNenek yang diproduksi oleh kanal YouTube BENI itu menghadirkan kesan perasaan paling bahagia yang pernah ada dalam hidupnya. Lalu, karena digarap secara apik pula, perasaan itu menular ke lebih dari delapan ribu orang yang telah menontonnya.

Juga kepada saya. Identitas siapa yang sebenarnya membentuk saya hari ini? Sebuah pertanyaan yang belum tentu tuntas sepeminuman kopi. Barangkali perlu pencarian lebih jauh, lebih ke dalam, agar mendapati rumah untuk menata ulang identitas yang hari ini terasa semakin sumir. Saya hapal dan tahu betul nama juga lokasi hidup kakek-nenek saya. Saya rasa saya tidak sendiri. Tetapi, apakah kita pernah menengok identitas mereka yang tercermin dalam perjuangan laku hidupnya dan kemudian berimbas pada kehidupan yang kita jalani hari ini? Apa yang ditampilkan Nadir dalam durasi 25 menit 58 detik mengingatkan kita semua betapa pentingnya hal itu. Siapa sebenarnya kita hari ini?

#FindingNenek adalah sebentuk oase yang menyegarkan di antara ribuan video buruk yang menyampah di hamparan padang pasir mahaluas bernama YouTube. Kita adalah pejalan di sana yang nyaris tidak mungkin melewatinya. Maka, sudah semestinya pandai memilah-memilih segala yang baik dari sana untuk menambah nilai kita sebagai manusia.

Benar seperti yang dikatakan oleh pemberi rekomendasi. Cara Nadir bercerita adalah nilai lebih dari sebuah ide cerita yang baik. Ide bisa saja baik, tapi eksekusi yang buruk kerap mengacaukannya. Bangsa kita punya pengalaman panjang tentang hal-hal semacam itu. Kita sudah sepatutnya menolak menjadi penyebab pengalaman buruk terus berulang di masa-masa mendatang.***

Standar

Tinggalkan komentar